Jumat, 02 November 2012

“ Bedug Pendowo “ Di Purworejo Terbesar Di Dunia

Bedug Pendowo merupakan Bedug Raksasa kebanggaan masyarakat Purworejo. Bedug ini mempunyai peranan sangat besar dalam penyebaran Islam di Purworejo. Bedug ini juga dicatat sebagai Bedug terbesar di Dunia.
Purworejo adalah sebuah kota kecil di ujung selatan Provinsi Jawa Tengah. Selain mempunyai wisata pantai, Purworejo juga mempunyai wisata religi dan Budaya yang menajubkan yaitu Bedug Raksasa, yang sering di sebut Bedug Pendowo. Bedug ini terletak di dalam Masjid Darul Muttaqien disebelah barat alun-alun kota.
Menurut website resmi Pemerintah Kabupaten Purworejo, menyebutkan bahwa bedug ini merupakan Bedug terbesar di Asia Tenggara, bahkan di Dunia. Ukuran spesifikasinya adalah Panjang 292 cm, keliling bagian depan 601 cm, keliling bagian belakang 564 cm, diameter belakang 180 cm, diameter depan 194 cm dan bagian yang ditabuh terbuat dari Kulit Banteng.
Bedug ini dibuat sekitar tahun 1843 pada masa pemerintahan Adipati Cokronagoro I, Bupati pertama Purworejo. Beliau memerintahkan Tumenggung Prawironagoro dan Raden Patih Cokronagoro untuk memimpin pembuatan Bedug ini. Dengan dibantu para Arsitek di Kadipaten, Tumenggung Prawironagoro dan Raden patih Cokronagoro segera mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyelesaikan pembuatan Bedug.
Tumenggung Prawironagoro memilih kayu Jati Glondongan sebagai bahan utama pembuatan Bedug. Kayu Jati ini diambil dari pohon pilihan di desa Bragolan, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Berbeda dengan pohon Jati pada umumnya, pohon ini mempunyai keunikan yaitu bercabang lima, sehingga disebut Jati Pendowo ( Pendowo dalam kisah Pewayangan Mahabharata mempunyai anggota sebanyak Lima.Oleh karena itu disebut bahwa Pendowo = lima ).Itulah mengapa bedug ini dinamai sebagai Bedug Pendowo
Menurut masyarakat setempat, pohon Jati pendowo ini dianggap pohon keramat dan tempat bersarang mahluk halus jahat. Masyarakat melarang pohon ini untuk ditebang. Tetapi, atas perintah Bupati Adipati Cokronagoro I yang tidak mempercayai mitos dan tahayul, seorang ulama bernama Kyai Irsyad atau yang sering di panggil Mbah Junus, berhasil menebang pohon itu. Kemudian beliau menyerahkannya kepada Tumenggung Prawironagoro.
Akhirya, Tumenggung Prawironagoro dan Raden Patih Cokronagoro berhasil menyelesaikan pembuatan Bedug ini. Mereka meletakkannya di dalam Masjid Agung Kadipaten yang sekarang benama Masjid Darul Muttaqien. Hingga sekarang, Bedug Pendowo masih terpelihara dan masih berfungsi dengan baik ditabuh saat waktu sholat tiba.
Para pembaca yang budiman, saya sebagai orang Purworejo asli patut berbangga atas peninggalan Bedug Pendowo yang notabene terbesar di dunia. Tetapi ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar itu. Suara Bedug Raksasa ini ketika ditabuh pertanda waktu sholat tiba, diharapkan akan menggetarkan hati para pendengarnya. Kemudian, masyarakat berduyun-duyun datang ke Masjid untuk menunaikan kewajiban mereka, sholat berjama’ah menyembah sang Kholiq. ITU YANG LEBIH UTAMA. Salam

Rabu, 31 Oktober 2012

Museum Tosan Aji Purworejo

Sekelumit Tentang Tosan AjiTosan aji merupakan salah satu hasil budaya bangsa pada masa perundagian sebagai warisan nenek moyang yang menunjukkan salah satu identitas budaya bangsa yang sampai kepada kita sekarang. Yang dimaksud Tosan Aji adalah sejenis senjata pusaka dari logam besi yang mendapat tempat terhormat (yang dihargai) di mata masyarakat terutama pada masa lampau, diantaranya berupa keris, tombak, pedang,kudi dan menur. Dalam alam pemikiran masyarakat lebih-lebih pada masa lampau Tosan Aji dianggap memiliki kekuatan gaib/kesaktian yang dapat mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat.

Alam pemikiran demikian berproses seirama dengan religi kemasyarakatan dan perkembangan jaman. Menurut D.G Stibe dan Letkol Uhlenbech dalam Encyclopedie-nya dinyatakan bahwa pada musium Antrhropologi /Ethnografi di Leiden telah disimpan keris yang berasal dan ditemukan di tengah-tengah stupa besar candi Borobudur. Yang diperkirakan keris tersebut sudah tua ketika dimasukkan ke dalam stupa yang kemungkinan sekali bersamaan dengan saat didirikan Candi Borobudur kurang lebih abad VIII. Dengan demikian pada waktu itu Tosan Aji telah mendapatkan tempat tinggi pada dalam kehidupan religi kemasyarakatan sehingga ditempatkan dalam bangunan monumental - religius – Borobudur. Nilai-nilai itulah yang kemungkinan melatar belakangi tingginya harga sebuah Tosan Aji

Sejarah Singkat Museum Tosan AjiMuseum Tosan Aji Purworejo diprakarsai pendiriannya oleh Menteri Dalam Negeri Bpk. Soepardjo Rustam. Sedangkan peresmian Museum Tosan Aji Purworejo oleh Gubernur KDH Tingkat 1 Jawa Tengah Bpk. Ismail pada tanggal 13 April 1987. Lokasi Museum pada waktu itu terletak di Pendopo Kawedanan Kutoarjo.

Pada tanggal 10 Juni 2001 oleh Pemerintahan Kabupaten Purworejo, koleksi Museum Tosan Aji Purworejo dipindah dari Kutoarjo ke Kota Purworejo menempati bangunan bekas Pengadilan Negeri pada jaman Belanda yaitu di Jln. Mayjend Sutoyo no 10 atau di sebelah selatan Alun-Alun Purworejo sebagai upaya mewujudkan lokasi wisata terpadu meliputi beberapa bangunan bersejarah seperti Masjid Agung Darul Mutaqin di sebelah barat alun-alun dengan Bedug Pendowonya terbesar di Indonesia mungkin di dunia, Pendopo Kabupaten Purworejo di sebelah utara alun-alun, Gereja GPIB di sebelah timur dan sebelah selatan bangunan kantor Setda Purworejo dan Museum

Peranan dan HarapanMuseum Tosan Aji Purworejo merupakan museum khusus yang hanya menyajikan satu jenis koleksi yaitu Tosan Aji, akan tetapi pada perkembangannya Museum Tosan Aji tidak hanya menampilkan koleksi Tosan Aji saja, namun juga menampilkan berbagai koleksi Benda cagar budaya yang banyak ditemukan di wilayah Kabupaten Purworejo, baik pada masa prasejarah maupun pada masa klasik. Koleksi pusaka yang dimiliki lebih dari 1000 bilah terdiri dari Keris, Pedang, Tombak,Kujang/kudi, Cundrik, Granggang yang berasal dari masa Kerajaan Pajajaran, Majapahit hingga sekarang, dan tersimpan pula benda-benda cagar budaya lainnya seperti Gamelan Kuno Kyai Cokronegoro, hadiah dari Sri Susuhunan Pakubuwono VI kepada Bupati Purworejo pertama “Cokronegoro I” serta beberapa Prasasti, Arca, Lingga, Yoni, Fragmen, Lumpang, Guci, Beliung, Batu Gong,Gerabah, Menhir, dan Fosil.

Peran Museum Tosan Aji sebagai tempat wisata edukatif dengan menyajikan koleksi dan informasi yang banyak dibutuhkan untuk pendidikan sejarah serta sebagai tempat tujuan wisata yang menyenangkan dan bernilai tinggi.

Harapannya pengunjung mampu mengadakan perenungan dan pengkajian tentang nilai-nilai luhur melalui koleksi-koleksi yang dipamerkan serta dapat mengambil hikah sebagai pesan sejarah yang harus diselamatkan sehingga dapat mensikapi perkembangan di kemudian hari yang penuh kompetitif (sumber : Pemda Purworejo)
Lokasi Museum
Jalan Mayjend. Sutoyo No.10, Purworejo
Telp. 0275-321033

Transportasi
Jarak tempuh dari Terminal Bus : 4 Km
Jadwal KunjungSenin s/d Kamis : 08.00 - 14.00 WIB
Jum'at : 08.00 - 11.00 WIB
Sabtu : 08.00 - 12.30 WIB
Minggu dan Hari Besar tutup

Selasa, 30 Oktober 2012

Purworejo Memiliki 357 Benda Cagar Budaya

Kabupaten Purworejo adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Magelang di utara, Kabupaten Kulon Progo (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di timur), Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Kebumen di sebelah barat.

Berdasarkan Penelitian, menurut Kepala Seksi Sejarah Kepurbakalaan dan Nilai Tradisional Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Purworejo Eko Riyanto mengatakan Kabupaten Purworejo memiliki 357 benda cagar budaya (BCB). Selain mesjid, gereja, dan berbagai bangunan kuno peninggalan kolonial Belanda, BCB tersebut diantaranya berupa arca, batu-batu kuno peninggalan zaman Megalitikum dan Hindu-Budha. Dari jumlah tersebut, 161 BCB yang rawan dicuri seperti patung atau arca, dimasukkan museum. Untuk delapan 17 BCB lainnya yang berupa situs diamankan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purworejo dengan cara menerjunkan 17 juru pelihara.

Sebanyak 191 BCB tersebut kini masih tersebar di sekitar pemukiman penduduk. Sebagian BCB tersebut ada yang dibiarkan tergeletak dan ada pula yang dihormati sebagai pepunden atau tugu penanda desa. Dua batu lumpang di Desa Borowetan, Kecamatan Banyuurip, bahkan dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai tempat untuk menumbuk padi.

Salah satu situs di Kabupaten Purworejo adalah situs Nyai Bagelen di Desa Bagelen, Kecamatan Purworejo. Menurut juru kunci situs Karyowinangun, setiap Selasa dan Jumat Kliwon, situs itu rutin dikunjungi orang yang ingin bersembahyang meminta rezeki, jodoh, dan kesuksesan dalam karir, kuliah dan di bangku sekolah.

Di situs tersebut disediakan ruang doa khusus yang dikunci dan hanya dibuka jika ada orang yang ingin sembahyang. Di sebelah ruang doa, terdapat makam leluhur keturunan Nyai Bagelen, makam Bupati Bagelen Tumenggung Reksosamudra, serta 10 batu stupa tanpa ada ukiran tanggal dan tahun.

Sebuah batu stupa serupa juga terdapat di makam Mbah Genuk di Desa Kalirejo. Dengan adanya stupa ini, dua situs tersebut terindikasi merupakan peninggalan Budha.

Maka dari itu kita sebagai generasi-generasi muda harus bisa menjaga dan melestarikan setiap peninggalan budaya dalam setiap daerah. Jangan sampai kita melupakan sejarah dan peninggalan nenek moyang kita dulu. Karena sejarah merupakan landasan terjadinya masa kini.

Lanting Bugel, Camilan Ringan Khas Purworejo

Ketela pohon atau dikenal dengan singkong merupakan salah satu bahan makanan yang bisa diolah menjadi berbagai penganan. Makanan asal singkong seperti gethuk, tape, hingga bolu saat ini telah banyak dikenal masyarakat. Namun, ada satu lagi yang dibikin dan dikembangkan perempuan Purworejo, yakni lanting.
Salah satu daerah yang terkenal dengan produk lantingnya adalah Bugel di Kecamatan Purwodadi. Desa di kawasan pesisir Purworejo itu mengembangkan lanting untuk memanfaatkan potensi singkong yang dihasilkan petani setempat.
Pembuat lanting yang paling terkenal di Desa Bugel adalah Kasminah (50). Perempuan itu memroses sedikitnya 300 kilogram singkong menjadi lanting. “Lanting bikinan saya bulat kecil seperti donat. Jika daerah lain, lanting ada yang dibuat seperti angka delapan,” ucapnya kepada KRjogja.com, Minggu (13/2).
Menurutnya, proses pembuatan lanting begitu mudah. Ketela yang telah dihaluskan dan dijadikan tepung, dicampur dengan bumbu asin. Kemudian, adonan tersebut dibentuk lingkaran menyerupai donat dan digoreng.
Lanting bikinan Kasminah tergolong laris. Selain rasanya gurih, harga camilan tersebut juga murah. Setiap kilogram lanting dijual Rp 5.000. “Harganya murah, namun tetap berkualitas sehingga enak dikonsumsi dan tahan lama hingga beberapa minggu,” tuturnya.
Camilan khas Bugel tersebut juga sudah dipasarkan ke berbagai daerah. Menurutnya, bukan hanya gerai oleh-oleh yang menjajakan lanting Bugel, namun camilan itu telah menembus pasar supermarket.
Keberadaan industri lanting sejak tahun 1994 di Desa Bugel mengangkat perekonomian warga setempat. Seridaknya, 15 warga Desa Bugel yang kebanyakan perempuan, ambil bagian sebagai pembuat lanting pada pabrik yang letaknya di belakang rumah Kasminah. “Setiap hari, mereka bisa membawa pulang penghasilan antara Rp 20 – Rp 25 ribu,” imbuhnya.
Konsumen lanting asal Kebumen, Budi Utami (30), mengatakan, lanting buatan warga Desa Bugel merupakan salah satu camilan yang enak dan selalu dibelinya untuk oleh-oleh. “Jika saya hendak ke luar kota, biasanya ke Bugel dulu beli lanting,” ucapnya.

Tari Dolalak, Kesenian Khas Purworejo

Salah satu kesenian khas Kab. Purworejo adalah DOLALAK. Awal mula kehadirannya tidak diketahui secara pasti namun ada pada zaman penjajahan Belanda. Tari dolalak tercipta karena terinspirasi oleh perilaku serdadu Belanda pada saat beristirahat di camp-camp. Serdadu- serdadu tersebut beristirahat sambil minum-minuman keras, ada juga yang menyanyi dan berdansa ria. Aktifitas sehari-hari para serdadu di kamp ditiru oleh para pengikutnya yang kebanyakan pribumi, oleh sebab itu terciptalah tari dolalak yang bentuknya sederhana dan berulang-ulang. Tari dolalak ditarikan oleh para remaja putri yang berpakaian mirip serdadu Belanda, dan puncaknya digambarkan saat penari mendem atau kerasukan setan. Pengiring yang digunakan berupa: kendang, rebana dan bedug, sedangkan syair-syairnya tentang keagamaan, pendidikan dan juga berbagai kritik dan sindiran. Tari ini dapat ditarikan bersama penonton sehingga bisa disebut sebagai tari pergaulan. Tari dolalak mempunyai berbagai ragam sesuai dengan daerah asalnya misalnya; gaya Kaligesingan, Mlaranan, Sejiwanan, dan Banyuuripan.

Tari dolalak berasal dari kata “do” dan “la-la” yang dimaksud not balok dari do,re,mi,fa,sol,la,si,do, yang diambil dari pendengaran penduduk pribumi yang berubah menjadi lidah jawa dolalak, sekitar tahun 1940. Tari ini oleh rakyat Indonesia diciptakan sebagai misi keagamaan dan politik untuk memerangi Belanda. Tari ini dipentaskan pada saat-saat tertentu, diantaranya; mantu,sunatan dan syukuran. Biasanya warga mengundang group tertentu yang disebut nanggap dalam bahasa jawa, tari ini ditarikan menjelang hajatan yaitu pada malam hari semalam suntuk.

Dalam perkembangan selanjutnya kabupaten Purworejo memperhatikan perkembangannya kemudian mengangkat kesenian ini lewat penataran dan seminar tentang tari dolalak. Bahkan dolalak dijadikan muatan lokal dalam pendidikan dasar. Perhatian pemerintah juga tampak dengan memberikan alat dan kostum. Sehingga kini dolalak sudah terkenal sampai di TMII yang pernah pentas di anjungan Jawa Tengah. Seiring berjalannya waktu kemudian dolalak menjadi aset mata pencaharian tambahan bagi penari dan pengiring group tersebut. Sebab pada musim pernikahan banyak menampilkan tari dolalak untuk meramaikannya.

Sebagai seni pertunjukan, dolalak mengandung 4 unsur seni yaitu; seni gerak (tari), seni rupa (busana dan aksesoris), seni suara (musik) dan seni sastra (syair lagu) yaitu:


  1. Gerak : gerak tari dolalak merupakan gerak keprajuritan didominasi oleh gerak yang rampak dan dinamis nyaris seperti gerakan bela diri pencak silat yang diperhalus. Gerakan “kirig” (gerakan bahu yang cepat pada saat-saat tertentu) merupakan ciri khas dolalak yang tidak didapati pada tarian lain. Penelitian Prihartini membagi tari dolalak menjadi tiga bagian yaitu: tari kelompok, tari pasangan, dan tari tunggal. Tari tunggal biasanya diikuti dengan “trance” atau kesurupan sehingga penari bisa menari hingga berjam-jam. Pada perkembangannya tari dolalak dimodivikasi sehingga bisa ditarikan hanya 15 menit. Dalam tari terdapat berbagai macam istilah diantaranya gerak kaki (adeg, tanjak, hoyog, sered, mancat, gejug, jinjit, ngentrik, ngetol, engklel, sing, pencik, kesutan, sampok, jengkeng dan sepak). Gerak tangan (ngruji, taweng, ngregem, malangkerik, ukel, ukel wolak-walik, tepis, jentus, keplok, enthang, siak, kesutan grodha, miwir sampur, ngithir sampur, bapangan wolak-walik, atur-atur, cathok, mbandhul, cakilan dan tangkisan). Gerak tubuh/ badan (ogek,entrag dan geblag). Gerak leher(tolehan, lilingan dan coklekan) gerak bahu (kirig dan kedher).
  2. Busana : kostum tradisional dolalak menggunakan baju lengan panjang hitam dan celana pendek hitam dengan pelisir “untu walang” pada tepinya. Serta aksesorius kuning keemasan pada bagian dada dan punggung ditambah topi pet hitam dengan hiasan dan kaos kaki panjang, namun saat ini dimodivikasi pada celana pendek yang dahulu diatas lutut menjadi di bawah lutut. Bahkan ada juga yang dimodivikasi dengan gaya muslim dengan berkerudung namun aksesorisnya tetap sama. Memakai sampur pendek yang diikat di sebelah kanan saja.
  3. Musik : semula hanya acapela, namun dalam perkembangannya diiringi dengan lagu dan tembang seerta iringan solawat jawa dan dilengkapi juga dengan bedug, kendang, terbang, kecer dan organ. Musiknya beragam dari vocal “bawa” sebagai lagu pembuka hingga lagu parikan atau pantun yang menggunakan bahasa melayu lama dan sebagian bahasa jawa bahkan bahasa arab. Bahkan sekarang masuk juga lagu jenis pop, dangdut dan campursari.
  4. Syair lagu: bertema tentang agama sindiran sosial, kegembiraan dan nasehat kehidupan ada juga yang bernuansa romantis yang dinyatakan dengan pantun atau parikan.
Dansa (tari gaul gaya barat ) dengan iringan lagu membangkitkan inspirasi beberapa warga pribumi untuk menirunya menjadi tari dolalak. Menurut penelitian Prihatini (2000) nama mereka adalah Rejotaruno, Duliyat dan Ronodimejo untuk menirunya. Dari hasil survey jurisan sejarah FKIP IKIP Semarang (1971) mencatat bahwa akar kesenian dolalak tumbuh pada masa perang Aceh (1873-1904). Untuk menghibur diri pasukan Belanda yang ditugaskan di Aceh membuat tari keprajuritan , dengan barisan dan cakepan atau nyanyian yang berbentuk “pernesan” atau sindiran serta dengan pakaian ala Belanda dan Perancis. Ketika Purworejo menjadi basis militer Belanda kesenian itu juga makin berkembang luas. Menurut salah satu sumber di internet (javapromo.com, 2007) yang dikemukakan oleh Tijab pimpinan group dolalak dusun Giri Tengah Borobudur mengatakan bahwa dolalak berasal dari kata “Duh allah” dan lahirnya seni dolalak karena adanya kisah pasukan Srikandi yang membantu Nyai Ageng Serang pada saat perang Diponegoro. Pasukan wanita tersebut berada di bawah pimpinan Ambarsari dan Roro Ayu Tunggalsari.

Pada awal kehadirannya sampai tahun 1970 dolalak merupakan kesenian rakyat yang berfungsi sebagai penghibur pada kegiatan hajatan masyarakat desa. Pada dekade 1970 ketika pemerintah mulai menggalakkan kesenian daerah sebagai aset wisata, dan mulai ada campur tangan dari pemerintah dan pembinaan. Atas prakarsa Bupati Soepanto (1975) yang menganjurkan kaum wanita bisa menjadi penari dolalak mendapat respon yang positif. Sehingga mulailah muncul group- group dolalak di tingkat kecamatan dan mencapai puncaknya pada dekade 1980 –an. Bahkan pada tahun 80 an terjadi perubahan yang menonjol dimana kemudian para penari yang tadinya lelaki diganti menjadi wanita yang diawali dengan group dolalak dari dusun Teneran, desa Kaligono, kecamatan Kaligesing. Dan kemudian pada saat ini berkembang pesat group dolalak yang penarinya wanita.

Isi lain yang perlu diungkap adalah “mantra” yang digunakan oleh sesepuh group dolalak ketika mengendalikan kekuatan ghaib yang merasuki penari dolalak. Sebelum group dolalak menari telah disediakan sesaji diantaranya: bunga setaman minimum 3 macam, minuman ( teh, kopi, dan air putih), kelapa muda, pisang dan jajan pasar, alat kecantikan (bedak, lipstik, kaca pengilon, sisir dan minyak wangi), kinang, sirih dan kapur sirih. Semuanya itu disajikan untuk penari yang “mendhem” atau kerasukan roh halus. Dalam kondisi menari mereka bisa totalitas dan bahkan kadang dapat melakukan hal- hal yang aneh dan diluar kebiasaan.

Jarkep Pordjo

saat ini mulai banyak penggila atau para pecinta seni kuda kepang/ biasa disebut jaran kepang di purworejo. mulai dari kalangan anak sekolah dasar hingga para paruhbaya tak mau ketinggalan dengan yang namanya jarkep ini. 
di banyak daerah purworejo sudah semacam memiliki suatu organisasi jarkep masing-masing. mulai dari paling timur kecamatan kaligesing , paling barat kecamatan pituruh, paling utara kecamatan loano dan paling selatan kecamatan bagelen. di semua daerah sudah memiliki ciri khas masing masing. 
jenis tarian jarkep sendiri ada 2 yaitu, kreasi dan tradisional. tarian kreasi merupakan tarian jaran kepang modern yang di kembangkan oleh seorang seniman pordjo, yang mengabdikan dirinya untuk kesenian purworejo. sedangkan jenis tari jarkep yang tradisional merupakan sejarah tersendiri dari masing-masing organisasi. tarian ini ada sejak organisasi lahir, adapula yang tarian ini memang sengaja ditiru atau di lebih kembangkan lagi oleh organisasi yang lainnya.
banyak yang menganggap bahwa jarkep itu tidak asyik jika tanpa dibarengi dengan aksi mendem atau lebih dikenalnya kesurupan. padahal yang namanya menikmati sebuah kesenian itu tidak melihat sisi balik setelah pertunjukan itu selesai, akan tetapi menikmati dimana pertunjukan itu sedang dilakukan. menikmati pola gerak dan alur cerita dari jarkep yang dihidangkan. mereka yang sangat ingin bisa mendem rela melakukan apa saja demi keinginannya terpenuhi. salah satu cara yang mereka lakukan adalah membuka pintu goib dari raga mereka sendiri. padahal yang namanya mendem itu bisa merusak pola pikir otak.
jadi jangan melakukan adekan mendem sembarangan, nikmati seni dengan apa adanya...., dan coba kita lestarikan budaya bersama ini.